Kisah ini berbayang dalam imajinasi seorang pemimpi berwajah abstrak.
Dia
tidak akan pernah tahu aku yang telah mati melihatnya. Namun aku juga tidak
pernah tahu kalau aku telah mati di saat sekelilingku membungkam dan membuka
setelah waktu berlalu.
***
Sore itu aku berjalan di tepian
jalan yang dingin. Aku melihat tak seorang pun menyapaku. Aku meneleponnya. Ia
sedang dalam perjalanan membawa semerbak bunga untuk persiapan acara valentine
malam ini. Temanku memanggilku dan aku tersenyum bahagia menyadari ada yang
kukenal di sana. Ada pula yang memujiku melalui lubang kosong tempat jualannya.
Aku sadar dia sahabat lamaku yang pasti masih mengenalku baik. Aku teringat
masa-masa indah bersama mereka.
Angin kencang menerbangkan
pikiranku. Aku melihat sebuah bulatan menggelinding di jalan raya yang hampir
jarang untuk tenang. Awalnya aku tak ingin mengambilnya. Tapi sorotan mataku
tak berhenti darinya seakan dia sedang memanggilku untuk bermain dengannya. Aku
berjalan menuju bulatan emas itu tanpa pikir panjang. Melangkah dan akhirnya
sampai di tengah dasar roda itu. Kuambil dan kulempar ke tepian jalan. Akan
tetapi, jiwaku tak lagi mendesah.
***
Sosok putih muncul di saat yang suci. Dia mengenakan
pakaian putih bersih dan aku memanggilnya Moze.
Dia seperti malaikat hingga ia mengenalkan dirinya malaikat. Moze adalah
manusia, tetapi bukan manusia. Moze
berteman dengan makhluk hidup, tetapi tidak hidup. Sebut saja Kim.
Moze sering muncul dengan tongkatnya yang sedikit
aneh namun cukup untuk menunjukkan identitasnya sebagai petugas dari kerajaan
surga. Kerap kali ia muncul tanpa wujud. Hanya rohnya yang menghantui diri
kedua pengikutnya yang berwajah tidak ramah. Rohnya akan menjejaki tiap
langkahku dalam tugas yang dipanggil pencarian terang menuju surga.
***
Seperti mengangkat beban ketika sudah
tertatih-tatih. Bisikan itu bagaikan beban matahari panas. Aku tak sanggup
menunjukkan telingaku di depannya walau aku terlihat samar. Senyuman kemarin
terlihat terbalik kini adanya. Kehadiranku yang sesungguhnya akan membungkamkan
tiap mulut yang bersuka. Aku tak pernah tahu aku begitu hina di hati mereka
yang terlalu polos ketika bersamaku.
Langkah itu semakin bergetar. Mulai sedikit jejak
yang terlihat tiap detiknya. Jam surgaku mulai menunjukkan sisa tiga per empat.
Aku mulai bergumam tentang kesalku pada Moze. Tiba-tiba sosok putih itu muncul
lagi. Aku benci kata-katanya yang tajam. Kim setan darat. Diam! Moze lenyap di
dalam bayangku yang terlihat merah membara.
Aku bercermin di sebuah kaca yang tak dimiliki.
Bajuku terlihat tak kusam dan masih baru. Seperti telah dijemput malaikat
surga. Wajahku putih bersih seperti putri kerajaan. Itu bukan mimpi.
Tiktok! Aku lari ke balik pintu. Lupa bahwa aku tak
terlihat. Mereka membicarakanku. Secerca senyuman seakan palsu setelah melihat
itu pura. Asaku semakin rapuh. Hatiku hancur untuk tahu tentang kebohongan itu.
Menangis turut menangis. Pikirku basah baju ini aku
tak akan punya baju lagi. Aku mencoba menerobos. Takjub tak kusangka air tak
berbekas. Semakin ku ingin tahu, aku coba mencicipi lidah yang disajikan
untukku. Itu tak palsu.
***
Empat mata kini bersisa tak sampai satu mata. Asaku
terengah. Tidakkah aku baik? Tidakkah aku pernah menggoreskan senyuman? Aku
hanya ingin sebuah kebaikanku yang tulus kamu tanam dalam hati kecilmu. Tidak
adakah tempat untukku? Apakah aku terlalu sadis? Aku ingin marah. Terjun dalam
kawah berapi dan tidak akan pernah muncul lagi. Aku yang tak diizinkan untuk
mati.
Moze
tidak menunjukkan wujudnya.
***
Mengapa dia dengannya? Apa aku tak cukup layak di
sisinya? Apa karna aku telah luput dari mata? Bahkan cinta pun mampu
direkayasa. Sehina inikah dunia? Dia tidak akan pernah tahu aku yang telah mati
melihatnya. Namun aku juga tidak pernah tahu kalau aku telah mati di saat
sekelilingku membungkam dan membuka setelah waktu berlalu.
Dalam tanya, tak seorang kan bersuara. Dalam pilu, Moze
kembali mengikuti. Dia cukup membuatku sadar akan arti yang tersembunyi selama
aku bernafas. Aku semakin tak percaya bahwa akan ada yang polos hatinya
bersinar untukku. Detikku tak lagi bernyawa. Aku akan hilang untuk
selama-lamanya.
***
Ia berlari dan terus berlari. Pukulan tak bisa membuatnya
tenang. Detakan jantungnya tak berujung. Langkah dan desahannya tidak mencapai
titik temu. Dia hela. Dia Hena.
Matanya sentak berbinar melihat harapan hidupnya
tiba. Cincin itu ditemukannya di tepian jalan. Namun, herannya ia melihat seperti
ada coretan jiwa di jalan itu. Dia bertanya pada orang lain.
***
Langkahku terhenti. Moze memejamkan matanya dan
berbisik, “Mati.”
0 comments:
Post a Comment