Everything beyond words.

Wednesday, June 25, 2014

, ,

MATI

Kisah ini berbayang dalam imajinasi seorang pemimpi berwajah abstrak.


Dia tidak akan pernah tahu aku yang telah mati melihatnya. Namun aku juga tidak pernah tahu kalau aku telah mati di saat sekelilingku membungkam dan membuka setelah waktu berlalu.      
***
            Sore itu aku berjalan di tepian jalan yang dingin. Aku melihat tak seorang pun menyapaku. Aku meneleponnya. Ia sedang dalam perjalanan membawa semerbak bunga untuk persiapan acara valentine malam ini. Temanku memanggilku dan aku tersenyum bahagia menyadari ada yang kukenal di sana. Ada pula yang memujiku melalui lubang kosong tempat jualannya. Aku sadar dia sahabat lamaku yang pasti masih mengenalku baik. Aku teringat masa-masa indah bersama mereka.
            Angin kencang menerbangkan pikiranku. Aku melihat sebuah bulatan menggelinding di jalan raya yang hampir jarang untuk tenang. Awalnya aku tak ingin mengambilnya. Tapi sorotan mataku tak berhenti darinya seakan dia sedang memanggilku untuk bermain dengannya. Aku berjalan menuju bulatan emas itu tanpa pikir panjang. Melangkah dan akhirnya sampai di tengah dasar roda itu. Kuambil dan kulempar ke tepian jalan. Akan tetapi, jiwaku tak lagi mendesah.
***
Sosok putih muncul di saat yang suci. Dia mengenakan pakaian putih bersih dan aku memanggilnya Moze. Dia seperti malaikat hingga ia mengenalkan dirinya malaikat. Moze adalah manusia, tetapi bukan manusia.  Moze berteman dengan makhluk hidup, tetapi tidak hidup. Sebut saja Kim.
Moze sering muncul dengan tongkatnya yang sedikit aneh namun cukup untuk menunjukkan identitasnya sebagai petugas dari kerajaan surga. Kerap kali ia muncul tanpa wujud. Hanya rohnya yang menghantui diri kedua pengikutnya yang berwajah tidak ramah. Rohnya akan menjejaki tiap langkahku dalam tugas yang dipanggil pencarian terang menuju surga.
***
Seperti mengangkat beban ketika sudah tertatih-tatih. Bisikan itu bagaikan beban matahari panas. Aku tak sanggup menunjukkan telingaku di depannya walau aku terlihat samar. Senyuman kemarin terlihat terbalik kini adanya. Kehadiranku yang sesungguhnya akan membungkamkan tiap mulut yang bersuka. Aku tak pernah tahu aku begitu hina di hati mereka yang terlalu polos ketika bersamaku.
Langkah itu semakin bergetar. Mulai sedikit jejak yang terlihat tiap detiknya. Jam surgaku mulai menunjukkan sisa tiga per empat. Aku mulai bergumam tentang kesalku pada Moze. Tiba-tiba sosok putih itu muncul lagi. Aku benci kata-katanya yang tajam. Kim setan darat. Diam! Moze lenyap di dalam bayangku yang terlihat merah membara.
Aku bercermin di sebuah kaca yang tak dimiliki. Bajuku terlihat tak kusam dan masih baru. Seperti telah dijemput malaikat surga. Wajahku putih bersih seperti putri kerajaan. Itu bukan mimpi.
Tiktok! Aku lari ke balik pintu. Lupa bahwa aku tak terlihat. Mereka membicarakanku. Secerca senyuman seakan palsu setelah melihat itu pura. Asaku semakin rapuh. Hatiku hancur untuk tahu tentang kebohongan itu.
Menangis turut menangis. Pikirku basah baju ini aku tak akan punya baju lagi. Aku mencoba menerobos. Takjub tak kusangka air tak berbekas. Semakin ku ingin tahu, aku coba mencicipi lidah yang disajikan untukku. Itu tak palsu.
***
Empat mata kini bersisa tak sampai satu mata. Asaku terengah. Tidakkah aku baik? Tidakkah aku pernah menggoreskan senyuman? Aku hanya ingin sebuah kebaikanku yang tulus kamu tanam dalam hati kecilmu. Tidak adakah tempat untukku? Apakah aku terlalu sadis? Aku ingin marah. Terjun dalam kawah berapi dan tidak akan pernah muncul lagi. Aku yang tak diizinkan untuk mati.
Moze tidak menunjukkan wujudnya.
***
Mengapa dia dengannya? Apa aku tak cukup layak di sisinya? Apa karna aku telah luput dari mata? Bahkan cinta pun mampu direkayasa. Sehina inikah dunia? Dia tidak akan pernah tahu aku yang telah mati melihatnya. Namun aku juga tidak pernah tahu kalau aku telah mati di saat sekelilingku membungkam dan membuka setelah waktu berlalu.
Dalam tanya, tak seorang kan bersuara. Dalam pilu, Moze kembali mengikuti. Dia cukup membuatku sadar akan arti yang tersembunyi selama aku bernafas. Aku semakin tak percaya bahwa akan ada yang polos hatinya bersinar untukku. Detikku tak lagi bernyawa. Aku akan hilang untuk selama-lamanya.
***
Ia berlari dan terus berlari. Pukulan tak bisa membuatnya tenang. Detakan jantungnya tak berujung. Langkah dan desahannya tidak mencapai titik temu. Dia hela. Dia Hena.
Matanya sentak berbinar melihat harapan hidupnya tiba. Cincin itu ditemukannya di tepian jalan. Namun, herannya ia melihat seperti ada coretan jiwa di jalan itu. Dia bertanya pada orang lain.
***

Langkahku terhenti. Moze memejamkan matanya dan berbisik, “Mati.” 

0 comments:

Post a Comment