Everything beyond words.

Wednesday, June 25, 2014

, , ,

Aku Mau Tahu

Karya fiksi ini dilukiskan dalam benak seorang perekayasa kenyataan.

“Aku mau tahu, pa.” 
“Papa gak tahu, nak.”
“Papa pasti tahu. Ayolah, pa! Aku mau tahu.”
***
          “Aku pulang!” teriak Wolly ketika menggeser pintu kaca yang memantulkan wajah cerianya.
Sosok anak yang masih menduduki bangku sekolah dasar kelas 3 ini memang kerap sekali terlihat berseri-seri apalagi ketika ia melihat papanya tercinta. Pak Retno, papa Wolly, seakan seperti mesin penghilang dahaga ingin tahu Wolly. Dari kecil hingga sekarang, Wolly selalu bertanya segala sesuatu kepada papanya dan papanya selalu berhasil menjawabnya.
          Papa Wolly adalah seorang buruh di pabrik obat kimia. Setiap hari ia harus pagi-pagi berangkat ke pabrik dan pulang jam 4 sore. Walaupun merasa sangat lelah, sosok seorang papa ini selalu menghangat hati Wolly yang kesepian sejak kehilangan seorang mama yang biasa menyediakan telur gulung kesukaan Wolly. Papa Wolly tidak pernah menceritakan pada anak tunggal kesayangannya itu ketika ia sudah sangat lelah. Ia selalu memanjakan Wolly. Demikian Wolly yang begitu mencintai papanya.
          Rasa ingin tahu Wolly yang besar tidak memberikannya angka cemerlang tiap kali mata memandang ke arah tabel yang terdapat di buku biru itu. Setiap kali guru bertanya padanya apa yang terjadi, murid yang tergolong sangat lasak ini selalu menjawab, “Aku tidak suka sekolah, bu! Aku ingin menemukan sesuatu baru yang mengubah dunia tanpa harus bersekolah.” Serentak teman-temannya langsung menertawakan Wolly yang dianggap sedikit memiliki kelainan.
Sebenarnya sosok Wolly bukanlah sosok anak yang memiliki kelainan, hanya saja ia selalu memiliki mimpi yang dicapainya dengan cara di luar dari bersekolah. Bagi usia yang masih sangat kecil itu, Wolly termasuk anak yang sangat pintar. Ia senang sekali pergi berjalan sendirian ke taman dan hutan untuk menemukan hal-hal baru yang hidup di sana. Uniknya, seberapa jauh pun ia berjalan, Wolly selalu mengingat jalan untuk kembali lagi ke rumah. Setiap sampai ke rumah, papa Wolly selalu ditemukan sedang berbaring di sofa. Wolly langsung membangunkan papanya dan bertanya mengenai apa saja yang ia temui tadi.
***
“Uhuk! Uhuk!” suara batuk terdengar hingga ke taman rumah. Papa Wolly mulai sering batuk berdarah. Agar Wolly tidak khawatir, hari itu papa Wolly izin kerja untuk pergi ke rumah sakit. Tangannya gemetaran dan wajahnya terlihat sangat pucat. Awalnya ia mengira bahwa ia hanya terkena batuk biasa. Sambil menunggu angka antrian yang lama sekali berubah, papa Wolly sudah kewalahan batuk terus. Sapu tangannya yang putih kini telah menjadi merah. “Nomor antrian 098” suara sebuah mesin terdengar menggema ketika darah terus mengenai sapu tangan papa Wolly. Itu gilirannya.
“Batuk anda ini sudah sangat parah.”
“Berapa lama batuk ini akan sembuh, dok?” papa Wolly bertanya dengan penuh harapan.
“Kemungkinan sembuh sangat kecil.”
“Kenapa dok?” tanya papa Wolly yang semakin penasaran akan keadaan dirinya.
“APA?!” mata papa Wolly langsung melotot dan tangannya semakin gemetar. Ia langsung teringat wajah ceria Wolly yang selalu bertanya sesuatu padanya.
***
“Wolly pulang!” sekali lagi papa Wolly melihat senyuman anak kesayangannya itu dari balik pintu kaca yang bermotif angsa itu. Wolly heran melihat papanya memakai baju rumah.
“Papa tidak kerja?”
“Oh, hari ini pabrik papa libur bersama.”
“Waahhhh! Ayo kita ke taman! Banyak yang Wolly mau tanya ke papa.”
Sudah sekian lama Wolly menanti papanya libur kerja. Wolly ingin sekali mengajak ayahnya ke taman. Anak kecil yang masih lugu itu tidak menyadari wajah papanya yang semakin putih dan pucat. Tiap kali ingin batuk, papa Wolly selalu berusaha tertawa sambil batuk agar dikira hanya tersedak akibat tertawa.
“Itu, pa! Itu tempat Wolly biasa duduk melihat sekeliling.”
“Benarkah? Ayo kita ke sana!”
Mereka duduk bersama di rerumputan yang tenang. Angin sepoi-sepoi menyapa senyuman mereka. Rasa ingin tahu Wolly meningkat ketika mulai melihat sesuatu bergerak.


“Itu apa, pa?”
“Hanya rumput saja kok yang terkena angin.”
“Wahhh. Keren sekali dia bisa bergoyang.”
“Itu apa, pa?”
“Burung. Cantik kan? Burung itu bisa mengantar surat ke tempat lain. Namanya Merpati.”
“Iya ya? Wolly ingin mencobanya. Papa tunggu sebentar ya.”
Wolly langsung kembali ke rumah. Ia mengambil secarik kertas dan menuliskan sebuah surat.
“Kepada papa tercinta. Papa, Wolly sangat sayang dengan papa. Papa jangan pernah lupa ya dengan Wolly. Dengan bertanya, Wolly bisa tahu banyak hal. Wolly minta maaf kalau Wolly tidak suka bersekolah. Papa maafkan Wolly kan? Wolly tahu papa sedang sakit. Papa selalu batuk-batuk tiap malam. Wolly hanya tidak mau papa sedih melihat Wolly menanyakan hal itu ke papa. Papa cepat sembuh yaaaaaaa! Wolly sayang papa!”
Surat yang tergores dengan sangat tulus itu kemudian digulungnya. Wolly kembali keluar dan menyangkutkan surat itu di kaki burung merpati yang mendarat di samping rumahnya.
“Apa yang kamu tulis?”
“Sebuah surat, pa. Rahasia!” senyuman Wolly seakan mengundang papanya untuk tersenyum juga.
“Papa, Wolly selama ini ingin bertanya pada papa.”
“Tanyakan saja.”
“Kenapa itu berwarna biru?”
“Karena langit itu memang berwarna biru, nak.”
“Ada apa di langit, pa?”
“Mmmmm…”
“Apa pa?”
“Apa ya…”
“Aku mau tahu, pa.”
“Papa gak tahu, nak.”
“Papa pasti tahu. Ayolah, pa! Aku mau tahu.”
“Begini saja, kalau Wolly mendapatkan juara di kelas, papa akan beri tahu jawabannya.”
“Janji ya, pa?”
“Janji!”
Papa Wolly langsung memeluk anaknya yang sangat menggemaskan itu. Awalnya ia hanya mengira kalau Wolly tidak akan mendapatkan juara. Namun, kebenaran ada di tangan Wolly.
***
“Berikutnya.”
Wolly melangkah masuk ke dalam kelas. Hari itu adalah hari penerimaan rapor.
“Papamu mana?”
“Papa bilang dia ada urusan, bu. Katanya nanti ketika sudah selesai, dia akan datang menemui ibu.”
“Oh, baiklah. Kalau begitu ini kamu bawa pulang dulu.”
“APA?!”
Ibu guru menyerahkan piala juara 3 kepada Wolly. Wolly sungguh merasa senang namun masih belum dapat tersenyum karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
“Ibu juga sungguh tidak mengira. Tapi kamu mulai rajin belajar tiba-tiba, Wolly. Ibu yakin kamu memang seorang yang pintar.”
“Terima kasih, ibu!!!”
Wolly langsung melompat seraya tertawa. Seluruh keadaan kelas menjadi hanya milik Wolly seorang. Ia langsung berlari keluar dan pulang ke rumah.
“Kepada Wolly. Papa di RS Scholastika.”
Sebuah memo tertempel di pintu kulkas. Wolly dengan jantung yang berdebar-debar mengambil selangkah mundur dan langsung berlari menuju tempat papanya. Ia berusaha tenang sambil membawa piala. Akhirnya ia berhasil meraih pintu RS Scholastika dan langsung bertanya pada resepsionis rumah sakit.
Tok..tok..tok…
“Masuk!”
Wolly langsung membuka pintu kamar papanya. Dengan tenang ia berusaha untuk tidak membahas keadaan papanya. Ia langsung mengangkat pialanya.
“Papa! Wolly berhasil!”
“Wolly! Kamu berhasil! Akhirnya kamu bisa mendapatkan juara!”
“Anak siapa dulu? Hahaha!” Wolly tertawa sambil mengeluarkan air mata melihat wajah papanya yang semakin pucat dengan bibir putih yang tersenyum.
“Nah, sekarang kamu harus tidur beristirahat di rumah ya. Kamu harus mandiri. Jangan lagi selalu bergantung pada papa. Kamu harus janji untuk sukses ketika besar.”
Air mata membasahi pipi putih sang papa.
“Sip, papa! Wolly mau tidur di sini, pa.”
“Baiklah. Asalkan kamu beristirahat.”
Beberapa menit kemudian, Wolly pun tertidur dengan pipi basahnya.
***
“Uhuk! Uhuk!”
Suara batuk itu membangunkan Wolly.
“Papa!”
Bibir putih papa semakin sulit bergerak.
“Pa-pa akan menepati jan-ji kita. Papa akan mencari tahu apa yang ada di la-ngit.”
“Papaaaaa! Papa tidak perlu lagi mencari tahu itu.”
“Papa sudah janji. Kamu tunggu ya, Wolly. Papa sayang kamu.”
Tiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt! Bunyi mesin detak jantung berbunyi. Garis lurus tertera. Air mata terus mengalir. Pelukan hangat Wolly tidak ingin lepas dari papanya.
***
“Lima, bu!”
“Pintar sekali kamu!”
Wolly tumbuh menjadi anak yang mandiri. Ia semakin rajin belajar. Semua orang menyukainya karna ia adalah anak yang baik dan bijaksana.
“Wolly akan menepati janji kita, pa! Wolly sayang papa.”

0 comments:

Post a Comment