Karya fiksi ini dilukiskan dalam benak seorang perekayasa kenyataan.
“Aku
mau tahu, pa.”
“Papa gak tahu, nak.”
“Papa pasti tahu. Ayolah, pa! Aku mau tahu.”
“Papa pasti tahu. Ayolah, pa! Aku mau tahu.”
***
“Aku pulang!”
teriak Wolly ketika menggeser pintu kaca yang memantulkan wajah cerianya.
Sosok anak yang masih menduduki
bangku sekolah dasar kelas 3 ini memang kerap sekali terlihat berseri-seri
apalagi ketika ia melihat papanya tercinta. Pak Retno, papa Wolly, seakan
seperti mesin penghilang dahaga ingin tahu Wolly. Dari kecil hingga sekarang,
Wolly selalu bertanya segala sesuatu kepada papanya dan papanya selalu berhasil
menjawabnya.
Papa Wolly
adalah seorang buruh di pabrik obat kimia. Setiap hari ia harus pagi-pagi
berangkat ke pabrik dan pulang jam 4 sore. Walaupun merasa sangat lelah, sosok
seorang papa ini selalu menghangat hati Wolly yang kesepian sejak kehilangan
seorang mama yang biasa menyediakan telur gulung kesukaan Wolly. Papa Wolly
tidak pernah menceritakan pada anak tunggal kesayangannya itu ketika ia sudah
sangat lelah. Ia selalu memanjakan Wolly. Demikian Wolly yang begitu mencintai
papanya.
Rasa ingin
tahu Wolly yang besar tidak memberikannya angka cemerlang tiap kali mata
memandang ke arah tabel yang terdapat di buku biru itu. Setiap kali guru
bertanya padanya apa yang terjadi, murid yang tergolong sangat lasak ini selalu
menjawab, “Aku tidak suka sekolah, bu! Aku ingin menemukan sesuatu baru yang
mengubah dunia tanpa harus bersekolah.” Serentak teman-temannya langsung
menertawakan Wolly yang dianggap sedikit memiliki kelainan.
Sebenarnya sosok Wolly bukanlah
sosok anak yang memiliki kelainan, hanya saja ia selalu memiliki mimpi yang
dicapainya dengan cara di luar dari bersekolah. Bagi usia yang masih sangat
kecil itu, Wolly termasuk anak yang sangat pintar. Ia senang sekali pergi
berjalan sendirian ke taman dan hutan untuk menemukan hal-hal baru yang hidup
di sana. Uniknya, seberapa jauh pun ia berjalan, Wolly selalu mengingat jalan
untuk kembali lagi ke rumah. Setiap sampai ke rumah, papa Wolly selalu
ditemukan sedang berbaring di sofa. Wolly langsung membangunkan papanya dan
bertanya mengenai apa saja yang ia temui tadi.
***
“Uhuk! Uhuk!” suara batuk
terdengar hingga ke taman rumah. Papa Wolly mulai sering batuk berdarah. Agar
Wolly tidak khawatir, hari itu papa Wolly izin kerja untuk pergi ke rumah
sakit. Tangannya gemetaran dan wajahnya terlihat sangat pucat. Awalnya ia
mengira bahwa ia hanya terkena batuk biasa. Sambil menunggu angka antrian yang
lama sekali berubah, papa Wolly sudah kewalahan batuk terus. Sapu tangannya
yang putih kini telah menjadi merah. “Nomor antrian 098” suara sebuah mesin
terdengar menggema ketika darah terus mengenai sapu tangan papa Wolly. Itu
gilirannya.
“Batuk anda ini sudah sangat
parah.”
“Berapa lama batuk ini akan
sembuh, dok?” papa Wolly bertanya dengan penuh harapan.
“Kemungkinan sembuh sangat
kecil.”
“Kenapa dok?” tanya papa Wolly
yang semakin penasaran akan keadaan dirinya.
“APA?!” mata papa Wolly
langsung melotot dan tangannya semakin gemetar. Ia langsung teringat wajah
ceria Wolly yang selalu bertanya sesuatu padanya.
***
“Wolly pulang!” sekali lagi
papa Wolly melihat senyuman anak kesayangannya itu dari balik pintu kaca yang
bermotif angsa itu. Wolly heran melihat papanya memakai baju rumah.
“Papa tidak kerja?”
“Oh, hari ini pabrik papa libur
bersama.”
“Waahhhh! Ayo kita ke taman!
Banyak yang Wolly mau tanya ke papa.”
Sudah sekian lama Wolly menanti
papanya libur kerja. Wolly ingin sekali mengajak ayahnya ke taman. Anak kecil
yang masih lugu itu tidak menyadari wajah papanya yang semakin putih dan pucat.
Tiap kali ingin batuk, papa Wolly selalu berusaha tertawa sambil batuk agar
dikira hanya tersedak akibat tertawa.
“Itu, pa! Itu tempat Wolly
biasa duduk melihat sekeliling.”
“Benarkah? Ayo kita ke sana!”
Mereka duduk bersama di rerumputan
yang tenang. Angin sepoi-sepoi menyapa senyuman mereka. Rasa ingin tahu Wolly
meningkat ketika mulai melihat sesuatu bergerak.
“Itu apa, pa?”
“Hanya rumput saja kok yang
terkena angin.”
“Wahhh. Keren sekali dia bisa
bergoyang.”
“Itu apa, pa?”
“Burung. Cantik kan? Burung itu
bisa mengantar surat ke tempat lain. Namanya Merpati.”
“Iya ya? Wolly ingin
mencobanya. Papa tunggu sebentar ya.”
Wolly langsung kembali ke
rumah. Ia mengambil secarik kertas dan menuliskan sebuah surat.
“Kepada papa tercinta. Papa, Wolly sangat sayang dengan
papa. Papa jangan pernah lupa ya dengan Wolly. Dengan bertanya, Wolly bisa tahu
banyak hal. Wolly minta maaf kalau Wolly tidak suka bersekolah. Papa maafkan
Wolly kan? Wolly tahu papa sedang sakit. Papa selalu batuk-batuk tiap malam.
Wolly hanya tidak mau papa sedih melihat Wolly menanyakan hal itu ke papa. Papa
cepat sembuh yaaaaaaa! Wolly sayang papa!”
Surat yang tergores dengan
sangat tulus itu kemudian digulungnya. Wolly kembali keluar dan menyangkutkan
surat itu di kaki burung merpati yang mendarat di samping rumahnya.
“Apa yang kamu tulis?”
“Sebuah surat, pa. Rahasia!”
senyuman Wolly seakan mengundang papanya untuk tersenyum juga.
“Papa, Wolly selama ini ingin
bertanya pada papa.”
“Tanyakan saja.”
“Kenapa itu berwarna biru?”
“Karena langit itu memang
berwarna biru, nak.”
“Ada apa di langit, pa?”
“Mmmmm…”
“Apa pa?”
“Apa ya…”
“Aku mau tahu, pa.”
“Papa gak tahu, nak.”
“Papa pasti tahu. Ayolah, pa!
Aku mau tahu.”
“Begini saja, kalau Wolly
mendapatkan juara di kelas, papa akan beri tahu jawabannya.”
“Janji ya, pa?”
“Janji!”
Papa Wolly langsung memeluk
anaknya yang sangat menggemaskan itu. Awalnya ia hanya mengira kalau Wolly
tidak akan mendapatkan juara. Namun, kebenaran ada di tangan Wolly.
***
“Berikutnya.”
Wolly
melangkah masuk ke dalam kelas. Hari itu adalah hari penerimaan rapor.
“Papamu
mana?”
“Papa
bilang dia ada urusan, bu. Katanya nanti ketika sudah selesai, dia akan datang
menemui ibu.”
“Oh,
baiklah. Kalau begitu ini kamu bawa pulang dulu.”
“APA?!”
Ibu guru menyerahkan piala
juara 3 kepada Wolly. Wolly sungguh merasa senang namun masih belum dapat
tersenyum karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
“Ibu juga sungguh tidak
mengira. Tapi kamu mulai rajin belajar tiba-tiba, Wolly. Ibu yakin kamu memang
seorang yang pintar.”
“Terima kasih, ibu!!!”
Wolly langsung melompat seraya
tertawa. Seluruh keadaan kelas menjadi hanya milik Wolly seorang. Ia langsung
berlari keluar dan pulang ke rumah.
“Kepada Wolly. Papa di RS
Scholastika.”
Sebuah memo tertempel di pintu kulkas.
Wolly dengan jantung yang berdebar-debar mengambil selangkah mundur dan
langsung berlari menuju tempat papanya. Ia berusaha tenang sambil membawa
piala. Akhirnya ia berhasil meraih pintu RS Scholastika dan langsung bertanya
pada resepsionis rumah sakit.
Tok..tok..tok…
“Masuk!”
Wolly langsung membuka pintu
kamar papanya. Dengan tenang ia berusaha untuk tidak membahas keadaan papanya.
Ia langsung mengangkat pialanya.
“Papa! Wolly berhasil!”
“Wolly! Kamu berhasil! Akhirnya
kamu bisa mendapatkan juara!”
“Anak siapa dulu? Hahaha!”
Wolly tertawa sambil mengeluarkan air mata melihat wajah papanya yang semakin
pucat dengan bibir putih yang tersenyum.
“Nah, sekarang kamu harus tidur
beristirahat di rumah ya. Kamu harus mandiri. Jangan lagi selalu bergantung
pada papa. Kamu harus janji untuk sukses ketika besar.”
Air mata membasahi pipi putih
sang papa.
“Sip, papa! Wolly mau tidur di sini, pa.”
“Baiklah. Asalkan kamu
beristirahat.”
Beberapa menit kemudian, Wolly
pun tertidur dengan pipi basahnya.
***
“Uhuk! Uhuk!”
Suara batuk itu membangunkan
Wolly.
“Papa!”
Bibir putih papa semakin sulit
bergerak.
“Pa-pa akan menepati jan-ji
kita. Papa akan mencari tahu apa yang ada di la-ngit.”
“Papaaaaa! Papa tidak perlu
lagi mencari tahu itu.”
“Papa sudah janji. Kamu tunggu
ya, Wolly. Papa sayang kamu.”
Tiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt!
Bunyi mesin detak jantung berbunyi. Garis lurus tertera. Air mata terus
mengalir. Pelukan hangat Wolly tidak ingin lepas dari papanya.
***
“Lima, bu!”
“Pintar sekali kamu!”
Wolly tumbuh menjadi anak yang
mandiri. Ia semakin rajin belajar. Semua orang menyukainya karna ia adalah anak
yang baik dan bijaksana.
“Wolly akan menepati janji
kita, pa! Wolly sayang papa.”
0 comments:
Post a Comment